Berpikir dan Bersikap Positif
Kualitas kepemimpinan seseorang sangat ditentukan oleh caranya bersikap atau memberikan respons terhadap apa yang berlangsung di sekitarnya. Sikap dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan kita sehari-hari. Dengan siapa kita bergaul, bermain, dan berkelompok, akan memberikan warna pada sikap kita. Saya mempunyai sahabat yang selama menjadi mahasiswa termasuk orang yang gemar membaca, terbuka, dan pandai bergaul dengan siapa saja. Ia menghadapi kepedihan hidup dengan senyuman, tabah, dan ulet. Di kemudian hari sikap yang diperankannya selama mahasiswa berbuah manis. Dia, Teddy Kharsadi—ex Citi Banker—pernah menjabat sebagai eksekutif sebuah perusahaan pengelola jalan tol swasta yang pertama. Setelah berhenti dari kegiatannya sebagai eksekutif, dia tidak mau diam juga. Dia adalah pendiri dan ketua Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat) serta aktif dalam organisasi budaya Sunda, Gentra, dan banyak lagi kegiatan yang ditekuninya.
Di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, saya juga mengenal sosok manusia yang tenggelam dengan buku dan pemikiran, fasih berbahasa Jerman. Sekarang dia menjadi direktur utama perusahaan tambang batu bara terbesar di Kalimantan Timur. Bahkan dialah satu-satunya eksekutif Indonesia yang perekrutannya menjadi Direktur Utama pewawancaranya dilakukan di Amerika. Dialah Noke Kiroyan.
Sebagai aktivis, saya menyaksikan pula teman-teman yang semasa mahasiswanya menunjukkan minat baca dan rasa ingin tahu yang luar biasa. Mereka aktif dalam organisasi bukan sekadar “ada” melainkan menikmati “keberadaannya” tersebut. Di antara mereka itu antara lain Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie SH. LLM, yang saat mahasiswanya sangat gemar membaca dan aktif di berbagai organisasi (saat ini menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi). Begitu juga Ir. Bambang Pranggono, sosok pemuda yang cerdas dan “tidak pernah diam”, gemar membaca, dan kritis. Kedua-duanya aktivis di Badan Komunikasi Pemuda Masjid.
Contoh-contoh itu membuktikan bahwa kualitas kepemimpinan seseorang dapat kita lihat sejak dia remaja atau mahasiswa. Kebiasaan di masa lalu mencerminkan keadaannya di masa depan (past behavior predict to the future behavior).
Hukum alam mengatakan, “Kebiasaan membentuk sikap seseorang, habits become attitude.’” Sikap adalah kesimpulan dari mata rantai kebiasaan dan pengalamannya di masa lalu. Itulah sebabnya seorang yang ingin mengembangkan potensi kepemimpinannya akan selalu memupuk berbagai kebiasaan yang positif untuk membangun tanggung jawab, ketabahan, kesabaran, serta cara memandang orang lain dengan cinta.
Sikap positif adalah rohnya seorang pemimpin. Dari sikapnya itu, tumbuhlah optimisme yang luar biasa. Sikap kepemimpinannya akan tampak dari cara dia memandang dirinya sebagai seorang yang berharga. Sikap sangat erat kaitannya dengan cara kita berpikir. Bila sikap kita positif, kita pun akan berpikir positif. Begitu sebaliknya, pikiran positif akan melahirkan sikap dan tindakan yang positif pula.
Napoleon Hill—pengarang buku Think and Grow Rich—mengatakan, “Pikiran manusia mampu melaksanakan apa saja yang diyakininya.” Menurutnya, pikiran mampu membayangkan keberhasilan, maka perilaku dan usaha-usaha Anda akan mengarah kepada apa yang Anda pikirkan. Your are what you think!
Pikirkanlah yang mampu mengubah hutan belantara menjadi permukiman dan memindahkan gunung-gunung dan menjadikannya bangunan istana. Dengan pikirannya, manusia mampu menempatkan dirinya lebih mulia daripada ciptaan apa pun yang ada di alam semesta ini.
Perilaku (behavior) merupakan hasil dari persenyawaan antara sikap dan cara berpikir. Orang akan berperilaku positif bila sikap dan cara berpikirnya positif. Untuk itu, sugesti diri Anda dengan cara berpikir positif, misalnya,
• Saya memiliki potensi, karena itu saya akan kerahkan semangat saya untuk menggali potensi diri.
• Saya tidak akan menyerah pada nasib karena sayalah yang akan mengubah dan menentukan nasib saya sendiri.
• Saya tidak akan goyah dengan apa yang saya yakini. Apa pun penilaian orang tentang keyakinan saya. Orang yang meragukan keyakinan saya adalah motivasi besar yang mendorong saya untuk lebih giat membuktikan keyakinan saya sehingga mencapai keberhasilan.
Buatlah daftar kalimat yang akan menyugesti diri Anda. Mulailah dengan membayangkan sesuatu yang berharga, yang akan melahirkan rasa syukur luar biasa pada diri Anda. Misalnya, Ketika Anda diterima bekerja, bayangkanlah berapa banyak teman yang seusia dengan Anda masih menganggur. Mereka tersaruk-saruk menyodorkan berkas lamaran dan gagal. Ketika Anda menerima uang gaji, bayangkanlah betapa pada waktu yang bersamaan ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang hidupnya begitu sulit karena tidak memiliki uang. Ketika Anda berangkat di pagi hari menuju kantor, bayangkanlah berapa banyak orang yang seusia dengan Anda yang pagi itu kebingungan ke mana kaki harus dilangkahkan.
Ketika Anda terpuruk dalam kemalasan, bayangkan berapa banyak orang seusia Anda yang meneteskan keringatnya di pasar, di jalanan, di kantor-kantor, serta di seluruh sudut kehidupan. Bila Anda berpikir atau merasakan suasana seperti itu—bahwa keberadaanku masih lebih baik dari orang lain, karena itu aku harus selalu bersyukur—maka Anda sedang menyugesti diri untuk berbuat lebih baik lagi. Anda sudah memiliki sikap mental positif.
Dalam buku Positive Mental Attitude, Napoleon Hill menulis, “When you say to another person, “You can!” this is suggestion. When you say to yourself, “I can!” you motivate yourself by self-suggestion—Bila Anda bicara pada orang lain “Kamu bisa!” Anda sedang menyugesti orang lain. Bila Anda bicara pada diri sendiri “Aku bisa!” Anda sedang menyugesti diri sendiri. (Hill & Stone, 1994: 33)
Sugesti diri merupakan alat yang paling penting untuk membangun kepercayaan diri. Anda tidak akan pernah sampai pada tujuan bila tidak yakin untuk mencapainya. Anda tidak pernah akan berbuat apa pun bila tidak ada keyakinan yang mendorong kemauan untuk melaksanakannya. Bila Anda tidak yakin dengan apa yang Anda lakukan, berhentilah! Sebab, hal itu hanya membuang waktu dan hanya akan memetik kegagalan. Karena, untuk mencapai keberhasilan dibutuhkan keyakinan dan tekad yang kuat.
Sikap positif melahirkan kepercayaan diri
Kepercayaan diri melahirkan keberanian
Keberanian melahirkan tindakan
Tindakan melahirkan hasil
Dan hasil akan menentukan nasib
Kualitas kepemimpinan akan lebih memberikan daya pengaruh bila ditunjang oleh kecakapan, keterampilan, dan kemampuan dalam menangani berbagai hal, utamanya yang berkaitan dengan hubungan dengan manusia (relationship). Itulah sebabnya, para pemimpin memiliki dorongan yang kuat untuk menjalin hubungan memperluas jaringan sosial dan terus belajar secara berkesinambungan (continuous learning). Dengan rasa kagum dan rasa ingin tahu yang mendalam, buku-buku biografi para tokoh dan para pemimpin dunia dibacanya dan dipelajari untuk kemudian dipetik hikmahnya demi memperkaya khazanah kepemimpinannya. Dia tabah dan tekun menempa diri dengan mendatangi tempat-tempat pelatihan. Dia belajar dari orang-orang sukses maupun gagal. Bahkan, dia tidak malu untuk belajar dari tukang sapu sekalipun. Dia pandang tukang sapu yang melaksanakan tugasnya dengan penuh suka cita. Apa gerangan yang menyebabkan dia begitu bahagia dengan pekerjaannya?
Dia belajar dari orang-orang tua karena dia sadar di setiap lembar rambutnya yang memutih itu ada pengalaman berharga untuk dipetik hikmahnya. Dia simak setiap butir fatwa yang mengalir dari bibirnya. Inilah cara pembelajaran seorang calon pemimpin maupun mereka yang sudah menduduki jabatan puncak. Never ending learning, ‘Tidak ada kata akhir untuk belajar’, sebagaimana Rasulullah saw. menyuruh kita untuk terus belajar sejak dari buaian sampai ke liang lahat. Sebab, dengan semangat belajar seperti ini, kualitas kepemimpinannya semakin berbobot. Bagi mereka, belajar bagaikan bensin. Semakin banyak cadangannya, semakin jauh perjalanan yang ditempuh. Akan tetapi, apalah artinya mengisi bensin bila tidak punya keberanian untuk mengendarainya. Apalah artinya belajar tanpa mau mencoba dan mempraktikkannya dalam kehidupan. Belajar dan mengalami serta teori dan praktik adalah dua sisi kehidupan yang sama pentingnya untuk merenda benang-benang keberhasilan.
Attitude = Belajar + Berlatih
Napoleon Hill (1994) menulis, “Anda akan mendapatkan apa saja dan tidak akan kehilangan apapun dengan berani mencoba. Keberhasilan hanya bisa diraih dan dipertahankan oleh mereka yang terus mencoba, You have everything to gain and nothing to lose by trying. Success is achived and maintained by those who keep trying.”
Ungkapan ini telah terbukti benar. Bukan saja dari keberhasilan para eksekutif atau pun para pemimpin informal, melainkan juga berlaku untuk para atlet unggul yang memperoleh juara disebabkan kemampuannya untuk terus-menerus mencoba, belajar, dan berlatih.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa para pemimpin yang sukses adalah mereka yang terus belajar untuk mendapatkan metode-metode baru yang kemudian dicobanya dalam kehidupan yang nyata. Mereka yang cukup puas dengan kepemimpinannya saat ini dan tidak belajar akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam pengambilan keputusan yang benar. Dunia terus berubah. Berbagai inovasi terus ditemukan. Bila kita berhenti belajar, kita akan menjadi katak dalam tempurung.
Para manajer yang baru seringkali belajar dan berani mencoba dalam pekerjaannya yang riil tanpa mengorbankan tugas-tugas rutin mereka. Pada saat mencapai kedudukan tinggi, mereka sudah siap untuk secara mental menerapkan pengetahuan hasil pembelajarannya. Sementara para manajer yang enggan belajar dan merasa bahwa kariernya hanya ditentukan oleh tugas-tugas rutinnya, akan memperoleh kesulitan yang luar biasa pada saat mereka menerima jabatan baru yang menantang sehingga produktivitasnya menurun. Inilah yang dimaksudkan dengan Peter Principle dengan asumsinya, “Bertambah naik kedudukan seseorang bertambah menurun kemampuannya.” (Ya, tentu saja bila tidak diiringi dengan proses pembiasaan dan pembelajaran).
Karena sikap dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan (habits become attitude), seyogianya setiap orang yang ingin mengasah pisau kepemimpinannya membiasakan dirinya secara bersungguh-sungguh untuk terus belajar, memiliki rasa ingin tahu, selalu ingin mencoba dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilannya. “Principle centered people are constantly educated by their experiences/They read, they seek training, they take classes, they listen to others, they learn to both their ears and their eyes. They are curious, always seeking question. They continually expand their competence, their ability to do things. They develop new skills, new interest—Orang yang berprinsip terus belajar dari pengalaman-pengalaman mereka. Mereka membaca, mengikuti pelatihan dan kursus, mendengarkan orang lain, belajar dengan kedua telinga, dan mata mereka. Mereka selalu ingin tahu, selalu bertanya. Mereka terus menambah kemampuan yakni kemampuan untuk mengerjakan banyak hal. Mereka mengembangkan keterampilan baru dan minat baru.” (Covey, 1996)
Bila Anda ingin mengasah pisau kepemimpinan, teruslah belajar dan jangan takut untuk mencoba. Anda tidak akan pernah tahu setajam apa pisau Anda, kecuali pada saat Anda mempergunakannya. Oleh karena itu, asahlah pisau nurani itu secara berkesinambungan dan pergunakanlah!
Sikap positif
Napoleon Hill berpendapat bahwa yang disebut dengan sikap mental positif adalah mencakup segala hal yang plus yang dinyatakan lewat kata-kata, seperti keyakinan, integritas, harapan, optimisme, keberanian, inisiatif, kedermawanan, toleransi, kebaikan, dan berpikir sehat. It is most often comprised of the “plus” characteristics symbolized by such words as faith, integrity, hope, optimism, courage, initiative, generosity, tolerance, tact, kindliness, and good common sense. (Hill & Stone, 1994)
Sikap positif hanya bisa diwujudkan ketika kita mampu membebaskan diri dari segala kedengkian. Tidak ada dendam dan kebencian. Pemimpin yang berkualitas selalu melihat orang lain sebagai keberkahan. Mereka sadar bahwa kehadiran orang lain adalah jembatan untuk mencapai puncak keberhasilan. Tanpa kehadiran orang lain yang dirasakannya kesepian yang mencekam. Oleh karena itu, mereka akan membuang segala sikap dengki, dendam, dan benci yang akan menutup pintu-pintu keberkahan. Kedengkian akan merusak bangunan kebersamaan yang justru sangat dibutuhkan untuk meraih cita-citanya. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda
“Jauhilah olehmu segala bentuk kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan sama seperti api memakan kayu bakar yang kering.” (Lihat Bulughul Maraam no. 1507)
Maka dari itu, dia membuka kebijaksanaan keterbukaan (open door policy). Dari pintu hatinya memancar kehangatan cinta yang membuat orang lain merasa teduh dalam dekapannya. Di hatinya tidak ada tempat untuk rombongan kebencian dan dendam karena seluruh kamar jiwanya telah penuh dengan cinta.
Pemimpin sejati menyadari bahwa hidupnya tidak sendirian. Dia bukan alien atau makhluk planet yang asing dan terasing. Jauh dalam lubuk hatinya ada sebuah sikap bahwa aku sangat mencintai orang lain dan karena itu aku sangat ingin melayani, memuliakan, dan menempatkannya sebagai manusia-manusia terhormat. Kebahagiaannya yang paling sejati ketika dirinya mampu memberi makna bagi orang lain. Bagi dirinya berlaku sebuah motto, “Tidak ada kuda yang binal, kecuali kusir yang bodoh.” Di tangan seorang kusir yang berpengalaman, betapapun liarnya seekor kuda, pasti dapat dikendalikannya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Harvard University diperoleh data bahwa 85 % kunci kepribadian para manajer yang sukses ditentukan oleh sikap (attitude). Bahkan, American Business Concern melaporkan bahwa 94% para top executive dari 500 Fortune Corporation (Perusahaan yang berhasil) yang sukses ditentukan oleh sikapnya dibandingkan kemampuan lainnya. ***
*(dikutip dari buku : Spiritual Centered Leadership, Kepemimpinan Berbasis Spiritual).
sumber: http://positivebuilding.blogspot.com/2007/11/berpikir-dan-bersikap-positif.html
apik" ,,
BalasHapusmpe ngantuk aq baca ni ..
haha ..