Search this Blog

Minggu, 27 Maret 2011

Misteri Adam Air di atas perairan Sulawesi Barat terkuak

13:58:20 WIB
Pilot: ”Jangan dibelokin! Ini heading (arah) kita.”

13:58:36
Kecepatan melewati Mach 0,82 (974 km/jam)—batas yang didesain untuk Boeing 747-400. Lima belas detik kemudian menjadi 1.105 km/jam. Suara udara kian bising. Pesawat miring ke kanan 100 derajat. Moncongnya menukik 60 derajat.

13:58:58
Kopilot: ”Naik! Naik! Naik! Naik! Naik! Naik!”

13:59:05
Terdengar suara dentaman keras, dumm..., dumm...!

13:59:24
Kotak suara berhenti merekam di ketinggian 2.743 meter

Judul asli:

Semua Bisa Diatur
Inilah cermin maskapai penerbangan dalam negeri: bisa didirikan cukup dengan dua pesawat sewaan berusia uzur.


Misteri Adam Air di atas perairan Sulawesi Barat terkuak. Kasus itu hanya satu dari potret muram industri penerbangan komersial domestik. Mimpi agar rakyat bisa terbang dengan tarif murah malah memakan banyak korban. Persoalan manajemen, pelatihan yang tidak memadai, hingga lemahnya pengawasan menjadi biang keroknya.

13:29 WIB, 1 Januari 2007
”Adam..., posisi di mana? Oh Tuhan, dia terbang ke utara!”

Kalimat itu meluncur dari pemandu menara pengawas Makassar. Dari radar di Bandara Hasanuddin, ia melihat pesawat Adam Air 574 jurusan Surabaya-Manado itu melenceng dari jalur semestinya. Pesawat itu malah berbelok menuju perairan Majene, Sulawesi Barat. Inilah awal petaka ketika pesawat itu jatuh ke laut hingga menewaskan 85 orang, 7 anak-anak, dan 4 bayi.

Misteri kecelakaan dan percakapan yang terekam setelah pesawat keluar jalur itu terkuak pada Selasa pekan lalu. Di hadapan puluhan juru warta, Komite Nasional Keselamatan Penerbangan (KNKT) membeberkan hasil pembacaan kotak hitam pesawat tersebut.

Salah satu penyebab tragedi nahas itu, kata Mardjono Siswosuwarno, anggota investigasi KNKT, adalah persoalan instrumen navigasi. Menurut laporan pilot dan laporan perawatan Adam Air, alat ini sudah 154 kali rusak antara Oktober dan Desember 2006. Namun tidak ada bukti bahwa Adam Air sudah menjalankan perawatan guna menjamin kelaikan komponen buat pesawat-pesawatnya.

Kesalahan manajemen itu ditambah kegagalan pilot serta kopilot memonitor instrumen lainnya, dan keterbatasan mereka ketika menghadapi disorientasi ruang sesaat sebelum peristiwa nahas itu terjadi. ”Yang terakhir ini memang lebih mengandalkan intuisi,” kata Herman Mulyadi, psikolog TNI Angkatan Udara. ”Ini mirip saat kita merasa mobil lagi mundur, padahal mobil di sebelah yang maju,” Mardjono memberikan ilustrasi.

Masalah navigasi itu terlihat dari perbedaan pembacaan pada alat satu dan dua hingga 28 nautical miles (52 kilometer) sesaat sebelum pesawat keluar jalur. Perbedaan hasil pembacaan alat itu menyedot perhatian pilot Refri Agustian Widodo dan kopilot Yoga. Keduanya sibuk memperbaiki alat selama 13 menit terakhir sebelum tragedi. ”Sehingga perhatian terhadap instrumen lainnya minim,” kata Ketua KNKT Tatang Kurniadi.

Mereka akhirnya memutuskan mengubah mode alat navigasi dua dari NAV (navigation) ke ATT (attitude). Akibatnya, pesawat yang tadinya terbang otomatis harus dikemudikan manual agar tidak miring. Hal ini tidak disadari keduanya sehingga pesawat lepas kendali. Pesawat pun miring ke kanan dengan kecepatan satu derajat per detik.

Bunyi alarm selama empat detik tanda bahwa pilot otomatis tidak berfungsi luput dari perhatian. Keduanya masih sibuk mengurusi alat navigasi. Sampai akhirnya pesawat miring ke kanan lebih dari 35 derajat. Alarm di dalam kokpit berbunyi: bank angle, bank angle, bank angle.... ”Itu tanda kemiringan sudah melewati batas kenyamanan penumpang,” kata Santoso Sayoga, salah satu investigator KNKT.

Pilot meminta kopilot mengembalikan instrumen navigasi ke mode NAV lagi. ”Tapi tindakan itu tidak membantu apa-apa,” kata Mardjono.

Detik-detik berikutnya seperti berpacu dengan maut....

13:58:20 WIB
Pilot: ”Jangan dibelokin! Ini heading (arah) kita.”

13:58:36
Kecepatan melewati Mach 0,82 (974 km/jam)—batas yang didesain untuk Boeing 747-400. Lima belas detik kemudian menjadi 1.105 km/jam. Suara udara kian bising. Pesawat miring ke kanan 100 derajat. Moncongnya menukik 60 derajat.

13:58:58
Kopilot: ”Naik! Naik! Naik! Naik! Naik! Naik!”

13:59:05
Terdengar suara dentaman keras, dumm..., dumm...!

13:59:24
Kotak suara berhenti merekam di ketinggian 2.743 meter

l l l

MAUT di Majene itu menambah muram industri penerbangan komersial Indonesia. Sejak industri penerbangan menggelegak pada 1999, jumlah maskapai dan penumpang memang tumbuh pesat. Dari 6,3 juta per tahun, jumlah penumpang domestik dua tahun lalu menembus 34 juta. ”Istilahnya, yuk kita bikin rakyat bisa terbang dengan murah,” kata Mardjono, yang juga dosen Teknik Mesin dan Penerbangan ITB ini.

Tapi legitnya industri ini juga menyisakan banyak persoalan. Hal ini, kata sumber Tempo yang sudah malang-melintang di industri penerbangan, sudah dimulai sejak sebuah perusahaan mengajukan izin usaha. ”Tidak diatur secara tegas maskapai seperti apa yang layak,” katanya. Bahkan tidak jarang, untuk mengegolkan studi kelayakan yang diajukan, sebuah perusahaan harus merogoh sejumlah duit. ”Besarannya bisa Rp 500 juta per SIUPP,” katanya.

Sayangnya, tidak ada berapa minimal modal sebuah perusahaan untuk mendirikan maskapai. ”Asalkan bisa menyediakan minimal dua pesawat sebagai cadangan dan tiga lainnya dioperasikan, meski semuanya menyewa, perusahaan sudah bisa menjalankan bisnis penerbangan,” kata seseorang yang bekerja di Departemen Perhubungan. Padahal bisnis maskapai ini butuh kapital besar. Tak mengherankan bila sudah ada beberapa maskapai seperti Bouraq dan Indonesia Airlines yang harus tutup buku.

Situasi ini jadi lebih parah karena banyak manajemen maskapai tidak memahami seluk-beluk industri berbiaya tinggi ini. Padahal, untuk menjadi direktur di industri penerbangan, ada syarat minimum yang diatur dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 121. ”Tapi sekarang semua orang bisa jadi direktur,” kata Samudra Sukardi, bekas Wakil Ketua Indonesia National Air Carrier Association (INACA).

Karena itu, banyak orang yang duduk di manajemen itu tidak mengerti industri penerbangan. Tak mengherankan bila 60-70 persen penyebab kecelakaan itu, kata anggota KNKT Kapten Prita Wijaya, karena kurangnya perhatian manajemen. ”Ini yang menjadi biang keroknya,” ujar dia.

Toh tetap saja banyak perusahaan penerbangan, atas nama penghematan, lebih senang menyewa pesawat tua, yang biayanya murah. Hal yang kadang dikesampingkan, pesawat ini justru boros bahan bakar dan mahal perawatan. ”Ibarat orang tua, harus lebih sering minum suplemen,” kata Mardjono.

Masalahnya, tidak semua maskapai penerbangan peka akan pentingnya perawatan suku cadang. Banyak yang hanya mengandalkan in house maintenance. ”Bagaimana mungkin maskapai yang pendapatannya rupiah bisa menyediakan suku cadang bernilai dolar?” kata sumber Tempo yang pernah bekerja di divisi keuangan sebuah maskapai itu. Malah, kata dia, persoalan perawatan ini paling mudah diakali.

Bahkan sumber Tempo yang juga praktisi penerbangan lainnya mengatakan, mesin yang mestinya sudah saatnya turun mesin (overhaul), tapi karena minimnya bujet, bisa ditunda asal mau memberikan ”amplop” ke inspektur dari Departemen Perhubungan. ”Yang penting tetap bisa terbang,” katanya. ”Bila tidak terbang satu hari, lebih rugi lagi.”

Persoalan dana juga, kata Prita Wijaya, yang membuat manajemen maskapai tidak menyediakan pelatihan buat kru secara maksimal. Padahal, setiap pilot itu harus menjalani pelatihan di simulator setiap enam bulan sekali, agar lisensinya bisa diperpanjang.

Demi memenuhi ketentuan ini, jelas dibutuhkan biaya tidak sedikit. ”Sewa satu simulator bisa US$ 400-500 per jam,” katanya. Satu sesi latihan minimal empat jam. Adapun harga simulator, Santoso menambahkan, hampir dua kali lipat harga pesawatnya.

Sehingga tidak aneh bila tertiup kabar, lebih dari empat pilot bisa masuk simulator sekaligus. Dulu, bahkan pernah ada delapan pilot masuk simulator sekaligus pada malam hari. ”Yang dua latihan, sisanya ngapain,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi Muliawan Suyitno.

Masalahnya, kualitas inspektur yang menguji pilot tersebut juga kerap dipertanyakan. Banyak inspektur, kata sumber Tempo, tidak tahu persis model kesukaran yang paling kritis yang mesti dihadapi saat simulasi berlangsung. Bahkan tidak jarang inspektur yang rating-nya belum cukup untuk menguji sesuai dengan simulator pesawat terbaru yang ada di Indonesia.

Kasus Adam Air di Majene, kata Mardjono, adalah contoh bagaimana pilot dan kopilot belum pernah dilatih menghadapi situasi kritis yang sama saat menjalani pelatihan di simulator. ”Jadi tidak tahu kalau bank angle berbunyi harus berbuat apa,” katanya.

Di sisi lain, kebutuhan akan pilot terus meningkat. Dari kebutuhan 200 pilot per tahun, sekolah penerbang Curug saja hanya bisa menyediakan 30 pilot—itu pun yang bisa mendapatkan sertifikat hanya 10. ”Yang terbaik pasti sudah menjadi incaran maskapai besar,” kata Prita.

Pertumbuhan jumlah penumpang dan rute penerbangan juga membuat persaingan antarmaskapai kian sengit. ”Ada bajak-membajak,” kata Samudra. ”Bahkan sampai ada iming-iming, yang tadinya kopilot akan menjadi pilot kalau dia mau pindah.” Tak heran bila banyak pilot karbitan. Padahal, untuk menjadi pilot, bukan hanya jam terbang yang dibutuhkan. ”Tapi pengalaman dan kematangan psikologis,” katanya.

Syarat menjadi pilot di Indonesia memang tidak terlalu sulit. Minimal pernah terbang 1.500 jam sudah bisa menjadi pilot. Situasi ini, kata Prita, berbeda dengan dunia penerbangan Eropa atau Amerika Serikat. Di sana, mereka harus mendapat pendidikan khusus untuk menjadi pilot, meski regulasi di Amerika tidak mengatur hal itu. ”Itu inisiatif maskapainya,” kata Prita.

l l l

SEMUA kekurangan itu mestinya bisa diperbaiki bila Departemen Perhubungan tegas melakukan pengawasan. Namun, penelusuran Tempo bicara lain. Sumber Tempo di departemen itu mengatakan, ada kesungkanan dari inspektur untuk memberikan rapor merah buat maskapai.

Sebab, setiap kali maskapai akan mendatangkan pesawat jenis baru, burung besi itu harus divalidasi dulu untuk dilihat rekam jejaknya. Nah, untuk melakukan pekerjaan itu, sudah ”pakemnya” maskapai yang membiayai inspektur. ”Mulai dari uang sangu, tiket, hingga hotel,” kata sumber Tempo.

Besar uang saku bisa US$ 300 per hari. Lamanya memvalidasi bisa 2-4 minggu bahkan lebih, tergantung jenis pesawatnya. ”Semua pembayaran diberikan di muka,” kata sumber tadi. Sedangkan inspektur yang berangkat bisa 3-4 orang. ”Kalau tidak begitu, dia tidak mau berangkat, dan sertifikat kelaikan terbang tidak akan keluar.”

Pelaku bisnis penerbangan lainnya mengatakan, ia pernah memberikan uang saku buat satu inspektur 3.000-5.000 euro—tergantung lama dan jenis pesawatnya. Pernah ada yang minta hingga 7-9 inspektur. ”Padahal, yang berangkat cuma 2-3 orang,” katanya.

Dampaknya? Inspektur tidak akan memberikan rapor merah buat maskapai karena ada rasa sungkan. ”Paling tidak, kalau sudah membiayai uang saku inspektur, untuk urusan lainnya akan lebih mudah,” kata dia. Sebab, menurut dia, semua urusan sertifikat, mulai dari mendapatkan air operator certificate, perpanjangan lisensi pilot, menaikkan rating pilot, hingga kelaikan terbang pesawat itu ujung-ujungya duit. ”Kalaupun persyaratan lengkap, tetap harus nyetor,” katanya.

Tak mengherankan bila Komisi Uni Eropa belum mencabut larangan terbang pesawat Indonesia ke Eropa. Komisi itu masih menunggu pembenahan aspek keselamatan penerbangan secara penuh. ”Yang dilarang itu regulatornya, karena dianggap di bawah performa,” kata Santoso. Perpanjangan pelarangan sejak tahun lalu itu diputuskan setelah auditor mereka menemukan banyak perbedaan antara regulasi dan kenyataan di lapangan.

Pelarangan ini adalah yang kedua buat Indonesia. Pada 1995-1996, maskapai asal Indonesia tidak boleh terbang ke Amerika karena dianggap tidak mengikuti aturan International Civil Aviation Organization (ICAO).

Atas beragam tudingan miring itu, Budhi Muliawan Suyitno tidak menepisnya. ”Saya tahu. Makanya kami lakukan pembenahan,” katanya. Itu sebabnya ia meminta maskapai juga melaporkan bila ada staf Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara yang bandel. ”Kita buka dosa masing-masing,” katanya. Kalau terbukti, inspektur itu akan dimutasi atau masuk daftar cekal tidak boleh melakukan inspeksi lagi.

Masalahnya, kata dia, maskapai kerap tidak mau menyodorkan nama karena juga mendapatkan manfaat dari ”jasa” inspektur itu. Apalagi jumlah inspektur masih terbatas. Menurut Adhy Gunawan, Deputi Sub-Direktorat Operasional DSKU, jumlah inspektur di departemennya hanya 23. Angka itu jauh dari memadai untuk mengawasi seluruh maskapai yang ada sekarang. Namun, Budhi mengatakan, jumlah inspektur ada 120. Jumlah pesawat yang harus diawasi ada 400. Perbandingan ini masih lebih baik ketimbang Australia.

Budhi juga mengatakan, seharusnya pemerintah menganggarkan biaya perjalanan buat inspektur yang akan memvalidasi pesawat. Tim yang berangkat biasanya 5-6 orang. ”Tapi terbentur seretnya anggaran,” kata dia.

Nah, agar duit itu tidak mengalir ke kantong pribadi, ia mengusulkan agar pemerintah mengadopsi sistem yang dipakai di negara lain. ”Maskapai penerbangan atau pabrikan membayar ke pemerintah sebagai pendapatan negara bukan pajak,” katanya. Dari itulah, inspektur diberangkatkan bila hendak memvalidasi pesawat jenis baru, atau pesawatnya yang didatangkan ke sini.

Kondisi inspektur ini jelas bertolak belakang dengan kondisi penerbangan di Eropa atau Amerika. Di sana, yang menjadi inspektur adalah para pelaku industri, bahkan ada bekas direktur, yang sudah mendekati masa pensiun. ”Mereka independen, dan jam terbangnya teruji,” kata Prita.

Yandhrie Arvian, M. Nafi, Muna, Rina Widiastuti, Vennie Melyani, Gabriel Wahyu Titiyoga


sumber: http://sagalaoretoret.blogspot.com/2008/04/misteri-adam-air-di-atas-perairan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar