Rencana perang Irak, yang dilancarkan meski mendapat tentangan             dari seluruh dunia, telah dipersiapkan setidaknya puluhan tahun          lalu oleh para ahli strategi Israel. Dalam upayanya mewujudkan          strategi pelemahan atau pemecahbelahan negara-negara Arab Timur          Tengah, Israel memasukkan Mesir, Syiria, Iran dan Saudi Arabia          dalam daftar sasaran berikutnya.
Saat tulisan ini disusun, Amerika Serikat (AS) telah memulai             penggempuran terhadap Irak. Meskipun kenyataannya kebanyakan          negara di seluruh dunia, bahkan sebagian besar sekutu AS sendiri,          menentangnya, pemerintahan AS bersikukuh untuk meneruskan rencana          serangannya. Ketika kita melihat apa yang ada di balik sikap keras          kepala AS ini, maka Israel-lah satu-satunya yang bertanggung jawab          atas pertumpahan darah dan penderitaan di Timur Tengah sejak awal          abad kedua puluh. Kebijakan pemerintah Israel yang ditujukan untuk          memecah-belah Irak memiliki akar sejarah yang panjang"
 Rencana Israel Membagi Irak
Laporan berjudul "
A Strategy for Israel in the Nineteen             Eighties" (Strategi Israel di Tahun 1980-an), oleh majalah          berbahasa Ibrani terbitan Departemen Informasi, 
Kivunim,          bertujuan menjadikan seluruh kawasan Timur Tengah sebagai wilayah          pemukiman Israel. Laporan tersebut, yang disusun oleh Oded Yinon -          seorang wartawan Israel yang pernah dekat dengan kementrian luar          negeri Israel - memaparkan skenario "pembagian Irak"          sebagaimana berikut:
                                  Irak, negeri kaya minyak yang menghadapi masalah perpecahan            dalam negeri, dijamin bakal menjadi sasaran Israel. Mengakhiri            riwayat Irak jauh lebih penting bagi kita ketimbang Syria"            Sekali lagi, Irak pada intinya tidaklah berbeda dengan para            tetangganya, meskipun sebagian besar penduduknya adalah penganut            Syi'ah dan sebagian kecil Sunni yang menguasai pemerintahan.            Enam puluh lima persen penduduknya tidak memiliki andil dalam            politik di negara di mana sekelompok elit berjumlah 20 persen            memegang kekuasaan. Selain itu terdapat minoritas Kurdi berjumlah            besar di wilayah utara, dan jika bukan karena kekuatan rezim            yang memerintah, angkatan bersenjatanya, dan pemasukannya dari            minyak, masa depan Irak akan takkan berbeda dengan nasib Libanon            di masa lalu" Dalam kasus Irak, pembagiannya menjadi sejumlah            provinsi berdasarkan garis suku atau agama sebagaimana yang terjadi            pada Syiria di masa kekhalifahan Utsmaniyyah adalah sesuatu yang            mungkin. Jadi, tiga (atau lebih) negara kecil akan terbentuk di            sekitar tiga kota utama: Basrah, Baghdad, dan Mosul; dan wilayah            kaum Syi'ah di selatan akan terpisah dari wilayah kaum Sunni dan            suku Kurdi di utara.
Kita hanya perlu sedikit mengingat kembali bagaimana skenario           ini sebagiannya telah dilakukan pasca Perang Teluk 1991, di mana           Irak secara efektif, kalau tidak secara resmi, dibagi menjadi tiga           wilayah. Fakta bahwa rencana AS menduduki Irak, yang sedang dilakukan           saat tulisan ini dibuat, dapat kembali mendorong terbaginya wilayah           tersebut, merupakan sebuah ancaman nyata.
 Peran Israel dalam Perang Teluk
Penerapan strategi Israel telah dilakukan sejak tahun 1990. Saddam           Hussein menyerbu Kuwait dalam serangan mendadak pada tanggal 1 Agustus           1990, sehingga memunculkan krisis internasional. Israel menjadi pemimpin           bagi kekuatan-kekuatan yang mendorong terjadinya krisis itu. Israel           adalah pendukung tergigih sikap yang dianut AS menyusul serangan terhadap           Kuwait. Kalangan Israel bahkan menganggap AS bersikap moderat, dan           menginginkan adanya kebijakan yang lebih keras. Sedemikian jauhnya           sehingga Presiden Israel, Chaim Herzog, menganjurkan agar AS menggunakan           bom nuklir. Di sisi lain, lobi Israel di AS tengah berupaya untuk mendorong           terjadinya serangan berskala luas atas Irak.
Seluruh keadaan ini mendorong terbentuknya pandangan di AS bahwa           serangan terhadap Irak yang sedang dipertimbangkan, sesungguhnya dirancang           demi kepentingan Israel. Komentator terkenal, Pat Buchanan, merangkum           pandangan ini dalam kalimat " Hanya ada dua kelompok yang menabuh           genderang perang di Timur Tengah - Kementrian Pertahanan Israel dan           kelompok pendukungnya di Amerika Serikat."           (http://www.infoplease.com/spot/patbuchanan1.html)
Israel juga telah memulai kampanye propaganda serius dalam masalah           ini. Karena kampanye ini sebagian besar dilancarkan secara rahasia,           maka Mossad pun terlibat pula. Mantan agen Mossad, Victor Ostrovsky,           memberikan informasi penting mengenai hal ini. Menurutnya, Israel           telah berkeinginan melancarkan peperangan bersama AS melawan Saddam           jauh sebelum krisis Teluk. Bahkan Israel telah memulai melaksanakan           rencana tersebut segera setelah berakhirnya perang Iran-Irak. Ostrovsky           melaporkan bahwa departemen Perang Psikologi Mossad (LAP - 
LohAma           Psicologit) melancarkan kampanye ampuh menggunakan teknik           disinformasi. Kampanye ini ditujukan untuk menampilkan Saddam sebagai           seorang diktator berdarah dan ancaman bagi perdamaian dunia. (Victor           Ostrovsky, The Other Side of Deception, hlm. 252-254).
 Agen Mossad Berbicara tentang Perang Teluk
Ostrovsky menjelaskan bagaimana Mossad menggunakan para agen           atau simpatisan di berbagai belahan dunia dalam kampanye ini dan           bagaimana, misalnya, Amnesty International atau "para penolong           Yahudi sukarelawan (sayanim)" di konggres AS dikerahkan. Di           antara cara yang digunakan dalam kampanye tersebut adalah rudal           yang diluncurkan ke sasaran-sasaran penduduk sipil di Iran selama           perang Iran-Irak. Sebagaimana dijelaskan Ostrovsky, penggunaan           rudal-rudal ini oleh Mossad di kemudian hari sebagai sarana propaganda           sungguh janggal, sebab rudal-rudal tersebut ternyata telah diarahkan           ke sasarannya oleh Mossad, dengan bantuan informasi dari satelit AS.           Setelah mendukung Saddam selama perangnya melawan Iran, Israel kini           tengah berupaya menampilkannya sebagai seorang monster. Ostrovsky           menulis:
                                  Para petinggi Mossad mengetahui bahwa jika mereka dapat          menjadikan Saddam terlihat sebagai sosok sangat jahat dan sebagai          ancaman bagi pasokan minyak Teluk, yang hingga saat itu ia telah          menjadi pelindung pasokan tersebut, maka Amerika Serikat dan          sekutu-sekutunya takkan membiarkan Saddam begitu saja, tapi akan          membuat perhitungan yang akan menghancurkan angkatan bersenjata          dan kekuatan persenjataanya, khususnya jika mereka sampai yakin          bahwa ini hanyalah kesempatan terakhir mereka sebelum Saddam          menggunakan senjata nuklir. (Victor Ostrovsky, The Other          Side of Deception, hlm. 254)
Israel sangat bersikukuh dalam masalah ini, dan dalam kaitannya             dengan Amerika Serikat, pada tanggal 4 Agustus 1990, Menteri Luar          Negeri Israel, David Levy, mengeluarkan ancaman menggunakan bahasa          diplomatis kepada William Brown, duta besar AS untuk Israel, dengan          mengatakan bahwa Israel "menginginkan AS akan memenuhi semua          tujuan-tujuan yang ditetapkan Israel untuk mereka sendiri di awal          krisis teluk," dengan kata lain AS hendaknya menyerang Irak.          Menurut Levy, jika AS tidak melakukannya, Israel akan melancarkannya          sendiri. (Andrew and Leslie Cockburn, Dangerous Liaison, hlm. 356.)
Akan sangat menguntungkan bagi Israel jika AS terlibat perang             tanpa keterlibatan apa pun di pihak Israel: dan inilah yang          benar-benar terjadi. 
Israel Memaksa AS Berperang
Akan tetapi, kalangan Israel terlibat secara aktif dalam             perencanaan perang oleh AS. Sejumlah pejabat AS yang terlibat          merancang 
Operation Desert Storm (Operasi Badai Gurun)          menerima arahan taktis jitu dari kalangan Israel bahwa "cara          terbaik melukai Saddam adalah dengan melancarkan serangan terhadap          keluarganya."
Kampanye propaganda yang diilhami Mossad sebagaimana dilaporkan           Ostrovsky membentuk dukungan publik yang diperlukan dalam Perang           Teluk. Sekali lagi, para pembantu lokal Mossad-lah yang berperan           menyulut api peperangan. Lembaga pelobi Hill and Knowlton, yang           dikendalikan oleh Tom Lantos dari lobi Israel, mempersiapkan           rancangan yang dramatis guna meyakinkan para anggota Konggres           perihal perang melawan Saddam. Turan Yavuz, wartawan Turki terkenal,           memaparkan kejadian tersebut:
                                  9 Oktober 1990. Lembaga pelobi Hill and Knowlton mengadakan            pertemuan di Konggress yang bertemakan "Kebiadaban Irak."            Sejumlah "saksi mata" yang dihadirkan dalam acara itu            oleh lembaga pelobi tersebut menyatakan bahwa tentara Irak membunuh            bayi-bayi baru lahir di bangsal-bangsal rumah sakit. Seorang            "saksi mata" memaparkan kekejaman itu dengan sangat            rinci, dan mengatakan bahwa para prajurit Irak telah membunuh            300 bayi baru lahir di satu rumah sakit saja. Berita ini sungguh            mengguncang para anggota Konggress tersebut. Ini menguntungkan            bagi pihak Presiden Bush. Namun, belakangan diketahui bahwa saksi            mata yang dihadirkan oleh lembaga pelobi Hill and Knowlton di            hadapan Konggres ternyata adalah anak perempuan duta besar Kuwait            untuk Washington. Kendatipun demikian, kisah yang dituturkan            anak perempuan tersebut sudah cukup bagi para anggota Konggress            untuk menjuluki Saddam sebagai "Hitler". (Turan            Yavuz, ABD'nin Kürt Karti (The US' Kurdish Card),            hlm. 307)
Hal ini mengarahkan pada satu kesimpulan saja: Israel berperan             penting dalam kebijakan Amerika Serikat untuk melancarkan perang          pertamanya terhadap Irak. Perang yang kedua tidaklah banyak berbeda. 
Alih-Alih "Perang terhadap Terorisme"
Berlawanan dengan keyakinan masyarakat luas, rencana untuk             menyerang Irak dan menggulingkan rezim Saddam Hussein dengan kekuatan          senjata telah dipersiapkan dan dicanangkan dalam agenda Washington          sejak lama sebelum dilancarkannya "perang mewalan terror,"          yang mengemuka pasca peristiwa 11 September. Isyarat pertama adanya          rencana ini mengemuka pada tahun 1997. Sekelompok ahli strategi          pro-Israel di Washington mulai memunculkan skenario penyerangan          atas Irak dengan memanfaatkan lembaga think-tank "konservatif          baru", yang dinamakan PNAC,
 Project for The New American          Century (Proyek bagi Abad Amerika Baru).
Sebuah artikel berjudul 
"Invading Iraq Not a New Idea for             Bush Clique: 4 Years Before 9/11 Plan Was Set" (Penyerangan          atas Irak Bukan Gagasan Baru bagi Kelompok Bush) yang ditulis William          Bruch dan diterbitkan di the
 Philadelphia Daily News, memaparkan          fakta berikut:
                                  Namun kenyataannya, Rumsfeld, Wakil Presiden Dick Cheney, dan            sekelompok kecil ideolog konservatif telah memulai wacana penyerangan            Amerika atas Irak sejak 1997 – hampir empat tahun sebelum            serangan 11 September dan tiga tahun sebelum Presiden Bush memegang            pemerintahan.
Sekelompok pembuat kebijakan sayap kanan yang terdengar            mengkhawatirkan, yang tidak begitu dikenal, yang disebut Proyek            bagi Abad Amerika Baru, atau PNAC – yang berhubungan erat            dengan Cheney, Rumsfeld, deputi tertinggi Rumsfeld, Paul Wolfowitz,            dan saudara lelaki Bush, Jeb – bahkan mendesak presiden waktu            itu, Clinton, untuk menyerbu Irak di bulan Januari 1998. (William            Bunch, Philadelphia Daily News, 27 Jan. 2003)
 Minyakkah yang Menjadi Tujuan Sebenarnya? 
Mengapa para anggota PNAC sangat bersikukuh untuk menggulingkan             Saddam? Artikel yang sama melanjutkan:
                                  Meskipun minyak melatarbelakangi pernyataan kebijakan PNAC            terhadap Irak, namun tampaknya ini bukanlah pendorong utama.            [Ian] Lustick, [seorang profesor ilmu politik Universitas            Pennsylvania dan ahli Timur Tengah,] yang juga pengecam kebijakan            Bush, mengatakan bahwa minyak dipandang oleh para pendukung perang            terutama sebagai cara untuk membayar operasi militer yang sangat            mahal.
"Saya dari Texas, dan setiap orang perminyakan yang saya            kenal menentang tindakan militer terhadap Irak," kata Schmitt            dari PNAC. "Pasar minyak tidak perlu diganggu."
Lustick yakin bahwa dalang tersembunyi yang sangat berpengaruh            kuat kemungkinan adalah Israel. Ia mengatakan para pendukung            perang dalam pemerintahan Bush yakin bahwa parade pasukan di            Irak akan memaksa Palestina menerima rancangan perdamaian yang            menguntungkan Israel"(William Bunch, "Invading Iraq not            a new idea for Bush clique" Philadelphia Daily News,            27 Jan. 2003)
Jadi, inilah dorongan utama di balik rencana untuk menyerang Irak:            membantu strategi Israel di Timur Tengah.
Fakta ini juga ditengarai oleh sejumlah ahli Timur Tengah lainnya.             Misalnya Cengiz Çandar, ahli Timur Tengah asal Turki, memaparkan          kekuatan sesungguhnya di balik rencana penyerangan atas Irak          sebagaimana berikut:
                                  "Siapakah yang mengarahkan serangan atas Irak? Wakil Presiden            Dick Cheney, Menteri Pertahanan Rumsfeld, Penasehat Keamanan Dalam            Negeri Condoleeza Rice. Mereka inilah para pendukung "tingkat            tinggi" terhadap penyerbuan tersebut. Akan tetapi, selebihnya            dari gunung es tersebut sungguh lebih besar dan lebih menarik.            Terdapat sejumlah "lobi."
Yang terdepan di barisan lobi ini adalah tim Jewish Institute            for Security Affairs (Lembaga Yahudi untuk Masalah Keamanan)            JINSA, yang merupakan kelompok kanan Israel pro-Likud yang dikenal            memiliki hubungan dekat dengan industri-industri senjata AS"            Mereka memiliki hubungan erat dengan "lobi persenjataan,"            Lockheed, Northrop, General Dynamics dan industri militer Israel"            Prinsip mendasar JINSA adalah bahwa keamanan AS dan Israel adalah            tak terpisahkan. Dengan kata lalin, keduanya adalah sama.
Tujuan JINSA tidak terbatas pada merobohkan rezim Saddam di Irak,            tetapi juga mendukung penggulingan rezim Saudi Arabia, Syria, Mesir            dan Iran dengan logika "perang total", yang diikuti dengan            "penegakan" demokrasi. …Dengan kata lalin, sejumlah            Yahudi Amerika yang seirama dengan kelompok-kelompok paling ekstrim            di Israel sekarang terdiri atas orang-orang yang mendukung perang di            Washington. (Cengiz Çandar, "Iraq and the 'Friends of            Turkey' American Hawks", Yeni Safak, 3 September 2002.)
 Proyek Israel "Penguasaan Dunia secara             Diam-Diam"
Singkatnya, terdapat kalangan di Washington yang mendorong             terjadinya perang yang awalnya dilancarkan terhadap Irak, dan          setelah itu terhadap Saudi Arabia, Syria, Iran dan Mesir. Ciri          mereka paling kentara adalah mereka berbaris di samping, dan          bahkan sama dengan, "lobi Israel."
Tak menjadi soal betapa sering mereka berbicara tentang           "kepentingan Amerika," orang-orang ini sebenarnya           mendukung kepentingan Israel. Strategi melancarkan peperangan           terhadap seluruh Timur Tengah sehingga menjadikan seluruh rakyat           di kawasan tersebut bangkit melawan AS tak mungkin akan menguntungkan           pihak AS. Penggunaan strategi seperti ini hanya mungkin dapat dilakukan           jika AS tunduk pada Israel, melalui lobi Israel, yang luar biasa           berpengaruhnya terhadap kebijakan luar negeri negara tersebut.
Dengan alasan ini, maka di belakang strategi yang mulai dijalankan             pasca 11 September dan yang ditujukan untuk merubah peta seluruh dunia          Islam, terdapat rencana rahasia Israel untuk "menguasai          dunia." Sejak pendiriannya, Israel telah bercita-cita merubah          peta Timur Tengah, menjadikannya mudah diatur sehingga tidak lagi          menjadi ancaman baginya. Israel telah menggunakan pengaruhnya di          AS untuk tujuan ini di tahun-tahun belakangan, dan memiliki andil          besar dalam mengarahkan kebijakan Washington di Timur Tengah. Keadaan          pasca 11 September memberi Israel kesempatan yang selama ini telah          dicari-carinya. Para ideolog pro-Israel yang selama bertahun-tahun          secara tidak benar telah menyatakan bahwa Islam sendirilah yang –          dan bukan sejumlah kelompok radikal militan yang berbaju Islam –          memunculkan ancaman terhadap Barat dan AS. Merekalah yang berusaha          meyakinkan kebenaran gagasan keliru tentang "benturan antar          peradaban," dan telah berupaya mempengaruhi AS agar memusuhi          dunia Islam setelah peristiwa 11 September. Sudah sejak tahun 1995,          Israel Shahak dari Universitas Hebrew, Jerusalem, menuliskan keinginan          Perdana Menteri Rabin sebagai "gagasan perang melawan Islam yang          dipimpin Israel." Nahum Barnea, penulis opini dari surat kabar          Israel, Yediot Ahronot, menyatakan di tahun yang sama bahwa Israel          tengah mengalami kemajuan "[untuk] menjadi pemimpin Barat dalam          perang melawan musuh, yakni Islam." (Israel Shahak, "Downturn          in Rabin's Popularity Has Several Causes", 
Washington Report          on Middle East Affairs, Maret 1995.)
Semua yang telah terjadi di tahun-tahun berikutnya adalah bahwa             Israel menjadikan niatannya semakin kentara. Iklim politik pasca 11          September memberikan peluang untuk mewujudkan niatan ini menjadi          kenyataan. Dunia kini tengah menyaksikan tahap demi tahap menerapan          kebijakan Israel dalam memecah-belah Irak, yang telah dirancang di          Konggres Zionis Dunia pada tahun 1982.
 Satu-Satunya Jalan Menuju Perdamaian Dunia:             Persatuan Islam
Keadaan di atas dapat dirangkum sebagai berikut: Tujuan Israel           adalah untuk menata ulang kawasan Timur Tengah menurut kepentingan           strategisnya sendiri. Untuk mencapai hal ini, untuk menguasai Timur           Tengah, wilayah paling mudah bergejolak di dunia, Israel memerlukan           sebuah "kekuatan dunia." Kekuatan ini adalah Amerika Serikat;           dan Israel, dengan kekuatan pengaruhnya terhadap AS, tengah berupaya           menggadaikan kebijakan luar negeri AS terhadap Timur Tengah. Meskipun           Israel adalah sebuah negara kecil berpenduduk 4,5 juta jiwa, rencana           yang disusun Israel dan para pendukungnya di Barat mengendalikan           keseluruhan dunia.
Apa yang perlu dilakukan menghadapi kenyataan ini?
1) Kegiatan melobi perlu dilakukan dalam rangka menandingi             pengaruh lobi Israel di Amerika Serikat guna membangun dialog          antara AS dan dunia Islam, dan untuk mengajaknya mencari cara          damai dalam memecahkan permasalahan Irak dan permasalahan serupa          lainnya. Banyak kalangan AS menginginkan negeri mereka mengambil          kebijakan Timur Tengah yang lebih adil. Banyak negarawan, ahli          strategi, wartawan dan cendekiawan telah mengungkapkan hal ini,          dan gerakan "perdamaian antar peradaban" harus digulirkan          dengan bekerjasama dengan kalangan tersebut.
2) Pendekatan yang mengajak pemerintah AS kepada pemecahan masalah             secara damai haruslah dibawa ke tingkat pemerintahan dan masyarakat          sipil.
Bersamaan dengan ini semua, jalan keluar paling mendasar terletak           pada sebuah proyek yang dapat menyelesaikan seluruh permasalahan antara           dunia Islam dan Barat, dan dapat mengatasi perpecahan, penderitaan dan           kemiskinan di dunia Islam dan sama sekali merubahnya, dan ini adalah           Persatuan Islam.
Perkembangan terakhir telah menunjukkan bahwa seluruh dunia, tidak           hanya wilayah-wilayah Islam, memerlukan sebuah "Persatuan Islam."           Persatuan ini haruslah mampu meredam unsur-unsur radikal di Dunia Islam,           dan membangun hubungan baik antar negara-negara Islam dan Barat, khususnya           Amerika Serikat. Persatuan ini juga hendaknya membantu menemukan jalan           keluar bagi induk dari seluruh permasalahan yang ada: perseteruan           Arab-Israel. Hanya dengan penarikan diri Israel hingga batas wilayahnya           sebelum tahun 1967, dan pengakuan bangsa Arab atas keberadaannya, akan           ada perdamaian sesungguhnya di Timur Tengah. Dan umat Yahudi dan Muslim           – yang keduanya keturunan Nabi Ibrahim dan beriman pada satu Tuhan           saja – dapat hidup berdampingan di Tanah Suci, sebagaimana yang           telah mereka tunjukkan di abad-abad yang lalu. Dengan demikian, Israel           takkan lagi memerlukan strategi untuk mengganggu keamanan atau           memecah-belah negara-negara Arab. Dan Israel takkan menghadapi balasan           atas pendudukannya dalam bentuk kekerasan dan ketakutan terus-menerus           terhadap upaya penghancuran terhadapnya. Lalu, keduanya, anak-anak Israel           dan Irak (juga Palestina) dapat tumbuh dalam lingkungan yang damai dan           aman. Inilah wilayah Timur Tengah yang seharusnya didambakan dan berusaha           diwujudkan oleh setiap orang yang bijak.
sumber: http://www.harunyahya.com/indo/artikel/028.htm